4.06.2012


Paradigma behaviorisme dan kognitivisme
Behaviorisme adalah teori yang berlandaskan pada prinsip stimulus-respon. Menurut teori ini seluruh perilaku manusia muncul karena rangsangan eksternal. Tokoh yang berkontribusi pada teori ini di antaranya adalah Ivan Pavlov. Dengan menggunakan teori itu sebagai dasar pengelolaan kegiatan pembelajaran, peran utama pendidik sebagai faktor eksternal harus memberikan rangsangan kepada siswa agar siswa  mampu merespon dengan baik serta meningkatkan perhatian atas apa yang harus dipelajarinya. Guru juga berperan agar respon yang siswa berikan diarahkan pada prilaku yang guru harapkan.
Tidak semua pakar sependapat dengan teori itu. Alasannya, respon dalam teori behaviorisme hanya berlaku pada hewan. Secara faktual kekuatan pada diri manusia tidak sesederhana itu. Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat menunjukkan tingkat aktivitas yang jauh lebih sempurna. Manusia dapat mengembangkan aktivitas pikirannya jauh lebih kompleks. Manusia tidak hanya dapat merespon, namun dapat mengembangkan potensi pikirannya tanpa ada stimulus dari luar dirinya sekalipun. Manusia menunjukan kelebihannya sebagai konsekuensi dari proses berpikir atas akal yang dimilikinya.
Sekali pun prilaku siswa menunjukan kompleksitasnya, namun perubahan perilaku siswa dapat diamati terutama dari hasil belajarnya. Pandangan seperti ini muncul dari pihak yang pro kognitivisme. Penganut kognitivisme mengibaratkan pikiran manusia seperti komputer; mendapat input informasi, memproses informasi, dan menghasilkan outcomes tertentu. Alur sistem ini selanjutnya dijadikan landasan dalam meningkatkan mutu belajar.
Para ahli dari kelompok kognitif pada dasarnya berargumen bahwa “kotak gelap” otak manusia itu harus dibuka dan dipahami. Para pembelajar dipandang sebagai prosesor informasi dalam komputer. Oleh karena itu terdapat beberapa kata kunci dalam usaha memahami kecakapan berpikir seperti : skema, pengolahan informasi, manipulasi simbol, pemetaan informasi, penafsiran informasi, dan mental model.
Studi kognitivisme berfokus pada kegiatan batin atau mental, membuka kotak gelap pikiran manusia agar dapat memahami bagaimana orang belajar. Proses mental seperti berpikir, mengingat, mengetahui, memahami, memecahkan masalah perlu dicermati dengan teliti. Pengetahuan dapat dipahami sebagai skema atau konstruksi simbol-simbol mental. Belajar dipandang sebagai proses perubahan pada pikiran siswa.
Elaborasi
Kognitivisme memiliki beberapa cabang ilmu, di antaranya teori asimilasi, atribusi, pertunjukkan komponen, elaborasi, mental model, dan pengembangan kognitif. Teori elaborasi adalah teori mengenai desain pembelajaran dengan dasar argumen bahwa pelajaran harus diorganisasikan dari materi yang sederhana menuju pada harapan yang kompleks dengan mengembangkan pemahaman pada konteks yang lebih bermakna sehingga berkembang menjadi ide-ide yang terintegrasi. Pengertian ini dirumuskan Charles Reigeluth dari Indiana University dan koleganya pada tahun 1970-an. Konsep ini memiliki tiga kata kunci yang fokus pada urutan elaborasi konsep, elaborasi teori, dan penyederhanaan kondisi.
Pembelajaran dimulai dari konsep sederhana dan pekerjaan yang mudah. Bagaimana mengajarkan secara menyeluruh dan mendalam, serta menerapkan prinsip agar menjadi lebih detil. Prinsipnya harus menggunakan topik dengan pendekatan spiral. Sejumlah konsep dan tahapan belajar harus dibagi dalam “episode belajar”. Selanjutnya siswa memilih konsep, prinsip, atau versi pekerjaan yang dielaborasi atau dipelajari.
Pendekatan elaborasi berkembang sejalan dengan tumbuhnya perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa sebagai kebutuhan baru dalam menerapkan langkah-langkah pembelajaran. Dari pikiran Reigeluth lahirlah desain yang bertujuan membantu penyeleksian dan pengurutan materi yang dapat meningkatkan pecapaian tujuan. Para pendukung teori ini juga menekankan pentingnya fungsi-fungsi motivator, analogi, ringkasan, dan sintesis yang membantu meningkatkan efektivitas belajar. Teori ini pun memberikan perhatian pada aspek kognitif yang kompleks dan pembelajaran psikomotor. Ide dasarnya adalah siswa perlu mengembangkan makna kontekstual dalam urutan pengetahuan dan keterampilan yang berasimilasi.
Menurut Reigeluth (1999), teori elaborasi mengandung beberapa nilai lebih, seperti di bawah ini.
  • Terdapat urutan instruksi yang mencakup keseluruhan sehingga memungkinkan untuk meningkatkan motivasi dan kebermaknaan.
  • Memberi kemungkinan kepada pelajar untuk mengarungi berbagai hal dan memutuskan urutan proses belajar sesuai dengan keinginannya.
  • Memfasilitasi pelajar dalam mengembangkan proses pembelajaran dengan cepat.
  • Mengintegrasikan berbagai variabel pendekatan sesuai dengan desain teori.
Teori elaborasi mengajukan tujuh komponen strategi yang utama, (1) urutan elaborasi (2) urutan prasyarat belajar (3) ringkasan (4) sintesis (5) analogi (6) strategi kognitif, dan (7) kontrol terhadap siswa. Komponen terpenting yang melandasi semua itu adalah perhatian.
Semua stratregi itu harus berlandaskan pada materi dalam bentuk konsep, prosedur, dan prinsip. Hal itu terkait erat dengan proses elaborasi yang berkelanjutan, melibatkan siswa dalam pengembangan ide atau keterampilan dalam aplikasi praktis. Strategi ini memungkinkan siswa untuk menambahkan sendiri ide dalam menguatkan pengetahuannya. Contoh yang tepat untuk ini adalah peserta didik yang memiliki daftar contoh konsep atau sifat yang dapat bermanfaat.
Eksplorasi
Eksplorasi adalah upaya awal membangun pengetahuan melalui peningkatan pemahaman atas suatu fenomena (American Dictionary). Strategi yang digunakan memperluas dan memperdalam pengetahuan dengan menerapkan strategi belajar aktif.
Pendekatan pembelajaran yang berkembang saat ini secara empirik telah melahirkan disiplin baru pada proses belajar. Tidak hanya berfokus pada apa yang dapat siswa temukan, namun sampai pada bagaimana cara mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Istilah yang populer untuk menggambarkan kegiatan ini ialah “explorative learning”. Konsep ini mengingatkan kita pada pernyataan Lao Tsu, seorang filosof China yang menyatakan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand.”
Jaringan komputer pada saat ini telah dikembangkan menjadi media yang efektif sebagai penunjang efektifitas pelaksanaan pembelajaran eksploratif. Salah satu model yang dikembangkan oleh Heimo adalah Architecture of Integrated Information System sebagai model terintegrasi yang menggambarkan kompleksnya proses pembelajaran yang efektif dan interaktif.
Pendekatan belajar yang eksploratif tidak hanya berfokus pada bagaimana mentransfer ilmu pengetahuan, pemahaman, dan interpretasi, namun harus diimbangi dengan peningkatan mutu materi ajar. Informasi tidak hanya disusun oleh guru. Perlu ada keterlibatan siswa untuk memperluas, memperdalam, atau menyusun informasi atas inisiatifnya. Dalam hal ini siswa menyusun dan memvalidasi informasi sebagai input bagi kegiatan belajar (Heimo H. Adelsberger, 2000).
Peta Konsep yang dikembangkan oleh Laurillard (2002) dalam tulisan Heimo menunjukan kompleksitas kegiatan eksplorasi dalam proses pembelajaran yang mengharuskan adanya proses dialog yang (1) interaktif (2) adaptif, interaktif dan reflektif (3) menggambarkan tingkat-tingkat penguasaan pokok bahasan (4) menggambarkan level kegiatan yang berkaitan dengan meningkatkan keterampilan menyelesaikan tugas sehingga memeperoleh pengalaman yang bermakna. Ada pun konsep tersebut dapat disajikan seperti diagram di bawah ini :
http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/2009/04/Laurillard-conversational-framework1-300x190.pngPendekatan eksploratif berkembang sebagai pendekatan pembelajaran dalam bidang lingkungan atau sains. Sylvia Luretta dari Fakultas Pendidikan Queensland misalnya, mengintegrasikan pendekatan ini dengan lima faktor yang menyebabkan kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna, yaitu belajar aktif, belajar konstruktif, belajar intens, belajar otentik, dan kolaboratif yang menegaskan pernyataan bahwa pembelajaran eksploratif lebih menekankan pada pengalaman belajar daripada pada materi pelajaran.
Dari pengalaman  menggunakan model kooperatif dan kolaboratif dalam praktek pembelajaran pengelolaan kelas ternyata mampu meningkatkan kinerja belajar siswa dalam melakukan langkah-langkah eksploratif.
Model pembelajaran ini dapat dikembangkan melalui bentuk pertanyaan. Seperti yang dikatakan oleh Socrates bahwa pertanyaan yang baik dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan lebih mendalam.
Eksplorasi merupakan proses kerja dalam memfasilitasi proses belajar siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Siswa menghubungkan pikiran yang terdahulu dengan pengalaman belajarnya. Mereka menggambarkan pemahaman yang mendalam untuk memberikan respon yang mendalam juga. Bagaimana membedakan peran masing-masing dalam kegiatan belajar bersama. Mereka melakukan pembagian tugas seperti dalam tugas merekam, mencari informasi melalui internet serta memberikan respon kreatif dalam berdialog.
Di samping itu siswa menindaklanjuti penelusuran informasi dengan membandingkan hasil telaah. Secara kolektif, mereka juga dapat mengembangkan hasil penelusuran informasi dalam bentuk grafik, tabel, diagram serta mempresentasikan gagasan yang dimiliki.
Pelaksanaan kegiatan eksplorasi dapat dilakukan melalui kerja sama dalam kelompok kecil. Bersama teman sekelompoknya siswa menelusuri informasi yang mereka butuhkan, merumuskan masalah dalam kehidupan nyata, berpikir kritis untuk menerapkan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan yang nyata dan bermakna.
Melalui kegiatan eksplorasi siswa dapat mengembangkan pengalaman belajar, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan serta menerapkannya untuk menjawab fenomena yang ada. Siswa juga dapat mengeksploitasi informasi untuk memperoleh manfaat tertentu sebagai produk belajar.
Konfirmasi
Kebenaran ilmu pengetahuan itu relatif. Sesuatu yang saat ini dianggap benar bisa berubah jika kemudian ditemukan fakta baru yang bertentangan dengan konsep tersebut. Oleh karena itu, sikap keilmuan selalu terbuka dalam memperbaiki pengetahuan sebelumnya berdasarkan penemuan terbaru. Sikap berpikir kritis dan terbuka seperti itu telah membangun sikap berpikir yang apriori, yaitu tidak meyakini sepenuhnya yang benar saat ini mutlak benar atau yang salah mutlak salah. Semua dapat berubah.
Cara berpikir seperti itu tercermin dalam istilah mental model yang mendeskripsikan sikap berpikir seseorang dan bagaimana pikirannya berproses dalam kehidupan nyata. Hal tersebut merepresentasikan proses perubahan sebagai bagian dari persepsi intuitif. Mental model itu membantu seseorang dalam mendefinisikan maupun menetapkan pendekatan untuk memecahkan masalah (wikipedia). Dengan sikap berpikir seperti itu siswa dapat mengembangkan, mengembangkan ulang, dan menggugurkan pengetahuannya jika telah menemukan kebenaran yang lain.
Mental model itu juga dapat melahirkan keraguan terhadap informasi yang diperolehnya. Untuk meningkatkan keyakinan akan kebenaran maka siswa dapat difasilitasi dalam mengembangkan model struktur sseperti pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi atau klarifikasi.
Model ini dapat dinyatakan dalam diagram seperti tertuang di bawah ini meliputi enggage, explore, explain, extend, dan berpusat pada pengembangan kemampuan mengevaluasi sebagaimana yang dikembangkan Anthony W. Lorsbach dari Universitas Illinois sebagai berikut
http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/2009/04/lcpic-300x285.jpg
Saya perlu mengetahui lebih banyak mengenai……..
Saya ragu mengenai ….
Saya tidak yakin bahwa …..

Saya perlu memahami lebih dan menerapkan …….
Dalam prakteknya guru meningkatkan kemampuan ini melalui pengembangan materi. Baik mengenai hal apa yang ingin diketahui siswa lebih jauh, seperti apa tingkat pemahaman dan penguasaan yang ingin dikembangkan dan keraguan apa yang melekat dalam pemahaman tersebut.http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/2009/04/FullExperientialLearningModel-300x296.jpg
Sikap keraguan itu perlu dijawab dengan mengkonfirmasikan terhadap unsur-unsur yang dapat meningkatkan kejelasan atas kebenaran suatu informasi. Siswa melakukan uji kesahihan apakah informasi yang dijadikan landasan kesimpulan itu benar-benar kuat.
Penguatan itu sendiri diperoleh melalui kegiatan eksplorasi melalui perluasan pengalaman, elaborasi melalui sharing dan observation, proses dan genaralisasi dan akhirnya siswa menerapkan  pembelajaran yang berstandar dengan merujuk pada paradigma kognitifisme.
Model Rencana Pembelajaran
Di bawah ini sebuah model Rencana Pembelajaran yang menerapkan pendekatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi atau klarifikasi pada mata pelajaran bahasa Indonesia dengan mengadaptasi model rencana pembelajaran di bawah ini :
Support and Elaboration in Writing
By – Rebecca Columbo
Primary Subject – Language Arts
Grade Level – 6-10
http://info.waldenu.edu/
Objective:
The students will write paragraphs containing well-developed supports that clearly illustrate a character trait.
Materials:
  • index cards
  • visual reference — overhead projector, dry erase board or handout reference sheet
  • four stacks of laminated cards — 20 of each variety:
  • character traits,
  • silly character cards,
  • problem cards, and
  • setting cards; and
  • sample paragraphs from students’ previous writings.
Preparation:
Laminated cards:
  • The character trait cards should display the character trait to be discussed as well as a simple definition of the trait.
  • The character cards should each have a picture of a fictitious character: i.e., superman, Scooby-doo, etc.
  • The problem cards should have a picture of something that could be the source of an external conflict: i.e., quicksand, Tyrannosaurus rex, etc.
  • The setting cards should each depict a fun, exciting, or imaginative location.
Procedure:
  • Read two to three samples of student writing that clearly show inadequate elaboration. Brainstorm with the students the details that could have made the supports more complete.
  • List the words: “who,” “what,” “when,” “where,” “why,” and “how” on the board or projector as a visual reference. Instruct the students to use these words as a checklist to be sure that they have provided the necessary information to their readers.
  • Pick one card from each pile of cards. Create a silly story to model for the students; show your selected character trait in the chosen setting and in the given situation.
  • Divide the students into groups of two or three. Have each group choose a card from each pile. As a group, they should write a detailed paragraph on an index card that illustrates their character trait.
  • When the students are finished, collect the cards and read each as a story to the class. Have the class look for weaknesses such as missing information and inadequate support for the trait given.
  • Continue this process until the students are able to write well-developed supports for a given trait.
Suggestion for Assessment:
  • Have the students return to their own desk.
  • Write the following words across the board. Under each word, write five options.”Character Trait,”     “Character,”     “Problem,”     “Setting”
  • Instruct the students to work individually to write a well-developed paragraph on their index card that clearly supports their character trait. They can choose traits, characters, problems, and settings from those chosen on the board.
Di bawah ini model RPP hasil adaptasi dari model di atas :
Tujuan
Siswa menuliskan sebuah paragraf yang secara jelas menggambarkan suatu karakter.
Bahan :
  • Kartu indeks
  • Referensi visual, LCD, atau papan tulis atau handout
  • 4 jenis kartu dengan masing-masing 20 kartu per jenis
  1. Kartu sifat manusia
  2. Kartu karakter seseorang
  3. Kartu masalah
  4. Kartu latar seperti tempat, waktu, zaman
  • Contoh paragraf yang pernah ditulis oleh siswa
Persiapan
Kartu
  • Kartu indeks (daftar kata)
  • Kartu sifat manusia yang menampilkan sifat yang akan didiskusikan dan mencantumkan definisi sederhana dari sifat tersebut
  • Pada kartu karakter harus mencantumkan satu gambar tokoh fiksi seperti superman atau scooby-doo, doraemon dll.
  • Kartu masalah harus mencantumkan suatu gambar yang bisa menjadi sumber konflik eksternal seperti Giant pada Doraemon, Joker pada Batman, Tom pada Jerry.
  • Kartu latar/setting harus dapat menggambarkan suatu lokasi, waktu, kondisi,atau suasana yang menyenangkan, menggembirakan, menyedihkan, serta dapat dibayangkan.
Prosedur
  • Baca dua hingga tiga contoh paragraf yang siswa hasilkan sebelumnya, jabarkan kandungannya dan elaborasi secara memadai sehingga siswa memahami kekuatan dan kelemahannya.
  • Lakukan dialog dengan siswa mengenai detil-detil mana saja yang bisa membuat paragraf menjadi lebih lengkap dan baik.
  • Mintalah siswa untuk mengeksplorasi paragraf dari sumber lain sebagai pembanding.
  • Buatlah daftar kata tanya : “siapa”, “apa”, “kapan”, “dimana”, “mengapa” dan “bagaimana” pada papan tulis atau pada layar monitor sebagai referensi visual.
  • Perintahkan siswa untuk menggunakan kata-kata tersebut sebagai sebagai penanda analisis paragraf, mereka harus menjamin bahwa kandungan paragraf tersebut memberikan informasi yang cukup untuk para pembaca
  • Bagilah siswa menjadi 3 sampai 4 kelompok. Setiap kelompok mengambil setiap jenis kartu yang telah tersedia. Sebagai kelompok, mereka harus merancang, menuliskan, dan menyempurnakan paragraf secara detil pada suatu kartu indeks yang menggambarkan suatu sifat serta sifat yang bertentangan sebagai sumber konflik.
  • Saat siswa telah menyelesaikan tulisannya, kumpulkan kartu dan bacakan setiap tulisannya sebagai suatu cerita di depan kelas. Minta siswa untuk melihat mengelaborasi kelemahan seperti informasi yang kurang atau hilang, dukungan yang kurang memadai terhadap sifat yang mereka ingin gambarkan, konflik yang kurang kuat, serta seting yang kurang jelas.
  • Lakukan hal ini terus hingga siswa mampu untuk menulis suatu sifat dengan dukungan yang baik dengan dukungan konflik atau masalah dan seting yang menarik.
Saran untuk penilaian
  • Minta siswa untuk kembali ke bangkunya semula
  • Tuliskan kata-kata berikut di papan tulis. Di bawah setiap kata, tulis lima pilihan
  • “ sifat”, “karakter”, “masalah”, “setting”
  • Perintahkan siswa untuk bekerja secara individual untuk menulis paragraf yang baik pada kartu indeks yang secara jelas mendukung sifat yang ingin mereka gambarkan. Mereka dapat memilih sifat, karakter, masalah dan seting dari setiap kata pada papan tulis.
Referensi:
Heimo H. Adelsberger, 2000. http://www.informs sim.org/wsc00papers/232.PDF
http://www-hagen.informatik.uni-kl.de/~kerren/pubs/kerren-iticse04.pdf

4.04.2012

pendekatan berbasis kompetensi


a.      Pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran perlu dipahami arti dan masing-masing kalimat tersebut Depdikbud (1990: 180) pendekatan dapat diartikan, “sebagai proses, perbuatan, atau cara untuk mendekati sesuatu”. Menurut Suharno, Sukardi, Chodijah dan Suwalni (1998: 25) bahwa, “pendekatan pembelajaran diartikan model pembelajaran”. Sedangkan pembelajaran menuzut H.J. Gino dkk. (1998:32) bahwa, “pembelajaran atau intruction merupakan usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk membuat siswa belajar dengan tujuan mengaktifkan faktor intern dan faktor ekstern dalam kegiatan belajar mengajar”. Sukintaka (2004: 55) bahwa, “pembelajaran mengandung pengertian, bagaimana para guru mengajarkan sesuatu kepada peserta didik, tetapi di samping itu juga terjadi peristiwa bagaimana peserta didik mempelajarinya”.

Berdasarkan pengertian pendekatan dan pembelajaran tersebut dapat disimpulkan bahwa, pendekatan pembelajaran merupakan cara kerja mempunyai sistem untuk memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran dan membelajarkan siswa guna membantu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai pendapat Wahjoedi (1999 121) bahwa, “pendekatan pembelajaran adalah cara mengelola kegiatan belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif melakukan tugas belajar sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal”. Menurut Syaifuddin Sagala (2005: 68) bahwa, “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditcmpuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu”.

Tujuan pembelajaran dapat dicapai maka perlu dibuat program pembelajaran yang baik dan benar. Program pembelajaran merupakan macam kegiatan yang menjabarkan kemampuan dasar dan teori pokok secara rinci yang memuat metode pembelajaran, alokasi waktu, indikator pencapaian hasil belajar dan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dari setip pokok mata pelajaran. Sistem dan pendekatan pembelajaran dibuat karena adanya kebutuhan akan sistem dan pendekatan tersebut untuk meyakinkan yaitu adanya kebutuhan untuk belajar dan siswa belum.

b.      Kompetensi
 kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak  secara konsisten dan terus menerus memunkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Pernyataan ini diperkuat oleh salah satu ahli dibawah ini.
McAshan (1981: 45) mengemukakan bahwa kompetensi:
“…is a knowledge, skill, and abilities or capibilities that a person achieves, witch become part of his or her being to the axent her or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors”.

Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.



Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.

Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi adalah sebagai berikut:
a.     Berpusat pada peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Peserta didik menjadi subjek pembelajaran sehingga keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran tinggi. Tugas guru adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang dan waktu bagi peserta didik belajar secara aktif dalam mencapai kompetensinya.
b.     Pembelajaran terpadu agar kompetensi yang dirumuskan dalam KD dan SK tercapai secara utuh. Aspek kompetensi yang terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi menjadi satu kesatuan.
c.     Pembelajaran dilakukan dengan sudut pandang adanya keunikan individual setiap peserta didik. Peserta didik memiliki karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang beragam. Oleh karena itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu memberikan layanan individual agar dapat mengenal dan mengembangkan peserta didiknya.
d.     Pembelajaran dilakukan secara bertahap dan terus menerus menerapkan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan. Peserta didik yang belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang sudah tuntas diberikan layanan pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi berikutnya.
e.     Pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu guru perlu mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan atau konteks kehidupan peserta didik dan lingkungan.
f.       Pembelajaran dilakukan dengan multi strategi dan multimedia sehingga memberikan pengalaman belajar beragam bagi peserta didik.
g.  Peran guru sebagai fasilitator, motivator, dan narasumber

4.01.2012


META-ANALISIS  PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN
TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA INGGRIS


oleh
A.A. Istri Ngurah Marhaeni
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni,  IKIP Negeri Singaraja

ABSTRAK


Meta-analisis ini menggunakan hasil penelitian eksperimental mengenai pengaruh strategi pembelajaran terhadap kemampuan berbahasa Inggris. Dari lima buah penelitian, diperoleh 26 buah temuan penelitian yang selanjutnya merupakan subjek penelitian ini. Rumus Glass digunakan untuk menghitung besarnya  pengaruh. Meta-analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara keseluruhan strategi pembelajaran terhadap kemampuan berbahasa Inggris, serta pengaruh tiga aspek yang ditemukan dalam eksperimen-eksperimen tersebut, yaitu tingkat pendidikan, jenis strategi yang digunakan, dan jenis properti kebahasaan yang dipengaruhi. Hasil analisis menunjukkan bahwa strategi pembelajaran efektif dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, terutama pada tingkat sekolah menengah. Temuan lain menunjukkan bahwa strategi-strategi metakognisi berpengaruh lebih besar  terutama pada kemampuan membaca pemahaman, dibandingkan strategi-strategi non-metakognisi.

Kata-kata kunci: meta-analisis, strategi pembelajaran, kemampuan berbahasa Inggris

ABSTRACT


The meta-analysis involved results of experimental studies concerning the effects of instructional strategies upon English language abilities. From five studies, 26 findings were documented, which were then, the subjects of the study. Glass’ formula was applied to compute the effect sizes. The study aimed at investigating the whole effect of the instructional strategies, as well as the effects of three aspects of the research, namely levels of education, kinds of instructional strategies, and kinds of language properties affected. Results of the analysis revealed that the instructional strategies were effective in improving English language abilities, particularly at high school level. Furthermore, it was found out that meta-cognitively oriented strategies affected better especially on reading comprehension, than the non meta-cognitive ones.

Key words: meta-analysis, instructional strategies, English language abilities
1. Pendahuluan
Dengan makin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan dunia pendidikan, semakin beragam pula strategi pembelajaran yang diformulasikan dan selanjutnya digunakan. Dalam konteks pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua, Gardner (2001) mengatakan bahwa strategi pembelajaran adalah salah satu dari tiga faktor paling penting yang menentukan keberhasilan belajar, selain faktor motivasi dan bakat. Demikian pentingnya strategi pembelajaran, sehingga dipandang perlu adanya suatu kajian tentang efektivitas strategi pembelajaran  terhadap kemampuan berbahasa. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melakukan meta-analisis. Tujuan meta-analisis ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh strategi pembelajaran terhadap kemampuan berbahasa Inggris, baik pengaruhnya secara keseluruhan maupun ditinjau dari aspek-aspek jenjang pendidikan subjek, jenis strategi instruksional yang digunakan, dan jenis kemampuan berbahasa Inggris yang dipengaruhi.
Seperti umumnya penelitian sejenis, meta-analisis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang pendidikan khususnya pengajar bahasa Inggris dapat memilih strategi pembelajaran yang tepat; maupun dalam bidang penelitian terutama untuk memperkaya topik penelitian maupun mengembangkan kajian pustaka.
Telah banyak dilakukan penelitian mengenai efektivitas strategi pembelajaran terhadap kemampuan berbahasa. Rivers (1990) mengatakan bahwa strategi/metode mengajar adalah kunci keberhasilan pengajaran bahasa yang komunikatif. Dalam konteks pembelajaran, keputusan untuk menggunakan suatu strategi haruslah berdasarkan pada pertimbangan tentang hakekat perkembangan kemampuan berbahasa.
            Jika ditelusuri sejarahnya, pandangan tentang perkembangan kemampuan berbahasa berubah-ubah. Pada jaman Perang Dunia ke-2, orang menganggap bahwa kemampuan berbahasa terjadi karena pembentukan kebiasaan (habit formation). Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh teori belajar behavioristik yang dimotori antara lain oleh Watson dan Skinner; dan oleh teori linguistik strukturalis yang diilhami oleh tulisan-tulisan L. de Saussure. Selanjutnya, pada tahun 60-an, pandangan tentang bagaimana kemampuan berbahasa berkembang, berubah. Teori behavioristik yang mengutamakan pada hal-hal yang bersifat kasat mata (observed) terbukti mengabaikan peranan faktor kognitif. Chomsky berargumentasi bahwa apapun yang muncul kepermukaan (surface structure) adalah hasil dari suatu proses yang ada di dalam otak (deep structure). Oleh karena itu, tentu saja yang lebih  penting adalah bagaimana deep structure itu terbentuk sehingga menghasilkan ekspresi-ekspresi bahasa yang sesuai.
Pandangan kontemporer mengatakan bahwa bahasa bersifat holistik (Goodman,1986; Edelsky dan Altwelger, 1994; Weaver,1994). Karena holistik, maka bahasa tidak bisa dipisah-pisah dalam bagian-bagian. Perlakuan terhadap bahasa dengan memisahkannya menjadi bagian-bagian bertentangan dengan hakikat bahasa itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan perkembangan kemampuan berbahasa, perspektif holistik yang berorientasi pada aliran konstruktivis berpendapat bahwa anak belajar dengan cara membangun (to construct) pengetahuan. Dikatakan bahwa setiap anak terlahir dengan membawa suatu Learning Potential  (bertentangan dengan Teori Tabularasa yang mengatakan bahwa anak terlahir bagai kertas putih, kosong). Dalam teori skema (Weaver, 1994), potensi ini diibaratkan sebagai suatu dam yang berisi berbagai informasi, hasil transaksi antara apa yang dimiliki dengan apa yang dipelajari. Hasil belajar ini berbeda-beda antara satu dengan yang lain, meskipun stimulus yang diberikan sama persis. Hal ini disebabkan oleh ‘isi dam’ masing-masing anak berbeda-beda, yang menyebabkan proses transaksi untuk membentuk pengetahuan baru pun berbeda-beda.
Lebih jauh,  Rosenblatt (1988) menegaskan bahwa dalam proses belajar berbahasa terjadi suatu proses tarik ulur (interplay) yang terus-menerus antara learning potential pebelajar dengan meaning potential yang dibawa oleh stimulus (misalnya teks pada kegiatan membaca). Bila potensi yang ada pada pebelajar banyak yang cocok dengan potensi pada bacaan, maka proses pembentukan makna terjadi dengan cepat dan banyak. Makna yang terbentuk ini menambah informasi pada ‘dam’ anak tersebut.
Pandangan konstruktivis di atas telah mempengaruhi keputusan guru dalam memilih strategi pembelajaran. Metode ceramah dan berbagai teknik spoonfeeding tidak lagi relevan dalam pembelajaran bahasa. Marhaeni (1999) menggunakan teknik journal writing dalam pembelajaran Reading I pada mahasiswa S1 jurusan bahasa Inggris. Satu self-selected text dibaca oleh setiap mahasiswa setiap minggu; selanjutnya mahasiswa memberikan respons terhadap isi bacaan itu dalam bentuk tulisan pendek (sekitar 300 kata). Respons itu dapat  berbentuk ringkasan dari teks, komentar tentang isi teks, dan refleksi. Setiap penulisan lima buah jurnal dilakukan reading conferences, dimana setiap mahasiswa memilih karyanya yang terbaik untuk didiskusikan dalam conference dengan dosen. Hasil kegiatan ini menunjukkan adanya hasil belajar yang baik pada aspek kosakata dan pemahaman. Temuan yang juga menarik adalah berkembangnya unsur afeksi pada mahasiswa. Mereka mulai suka membaca dan pilihannya adalah bacaan  berbahasa Inggris. 
Karena demikian pentingnya strategi pembelajaran, dan dengan banyaknya strategi yang telah digunakan dalam penelitian-penelitian terutama dalam eksperimen, diperlukan suatu meta-analisis untuk mengetahui dampaknya terhadap kemampuan berbahasa Inggris.
Glass, dkk. (1981) mengatakan bahwa meta-analisis adalah an approach to research integration.  Dengan kata lain, meta-analisis  adalah analisis integratif  terhadap sejumlah hasil penelitian yang sejenis. Meta-analisis bertujuan untuk mendapatkan suatu kesatuan pemahaman atau konklusi umum tentang hasil-hasil penelitian tersebut.
Meta-analisis bersifat kuantitatif karena menggunakan penghitungan angka-angka dan statistik untuk kepentingan praktis, yaitu untuk menyusun dan mengekstraksi informasi dari begitu banyak data yang tak mungkin dilakukan dengan metode lain.
Besar pengaruh suatu perlakuan dihitung melalui  effect size. Berbagai metode dianjurkan oleh para ahli untuk menghitung effect size. Dalam penelitian ini dipilih metode dari Glass dkk.(1981), yaitu dengan mencari besarnya delta (Δ)  dengan jalan membagi selisih rerata kelompok eksperimen (E) dengan rerata kelompok kontrol  (K), dengan deviasi  standar (SK) kelompok kontrol. Rumusnya adalah :

∆ = 

            Besarnya delta (Δ) menunjukkan perbedaan antarkelompok dan dinyatakan dalam satuan deviasi standar relatif terhadap deviasi standar kelompok kontrol. Besar pengaruh yang bersifat positif menunjukkan bahwa pengaruh variabel yang diteliti pada kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol; demikian sebaliknya bila arahnya negatif.

2. Metode Penelitian
Penelitian meta-analisis ini menggunakan lima buah artikel hasil penelitian yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yaitu hasil-hasil penelitian tentang pengaruh strategi pembelajaran terhadap kemampuan berbahasa Inggris. Kelima penelitian tersebut dapat dilihat pada lampiran 1. Dari hasil pemberian kode temuan-temuan penelitian, diperoleh 26 subpenelitian, yang selanjutnya disebut sebagai subjek penelitian.
Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa lembaran pemberian kode (coding sheet) seperti yang digunakan oleh Juliati S (1993) dan Soekamto (1989). Coding sheet tersebut berupa sebuah tabel, dengan kolom-kolom untuk menuliskan beberapa informasi maupun variabel dari artikel-artikel yang dianalisis. Informasi dan variabel yang ditabulasi adalah (a) nama peneliti dan tahun publikasi, (b) jenjang pendidikan yang diteliti, (c) lama waktu perlakuan, (d) jumlah subjek penelitian, (e) variabel terikat, (f) variabel bebas, (g) jenis perlakuan, (h) effect size untuk setiap variabel, dan (i) rata-rata effect size untuk setiap perlakuan. Kolom (g) jenis perlakuan, sesuai dengan topik meta-analisis ini adalah strategi pembelajaran yang digunakan dalam setiap subpenelitian. Karena penelitian-penelitian yang digunakan berjenis eksperimental, maka perlakuan dibedakan menjadi perlakuan/strategi untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Langkah-langkah tabulasi data adalah (1)  identifikasi variabel-variabel penelitian. Yang setelah ditemukan, dimasukkan dalam kolom variabel yang sesuai, (2) identifikasi rerata dan deviasi standar dari data kelompok eksperimen maupun kelompok control untuk setiap subjek/subpenelitian, (3) penghitungan effect size dengan menggunakan rumus Glass (1981) berdasarkan rerata dan deviasi standar tersebut. Hasil penghitungan kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang sesuai. Hasil dari proses tabulasi data di atas dapat dilihat pada lampiran 2.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Pemilahan dan pengelompokan subjek (subpenelitian) yang dilakukan sesuai dengan jenis variabel yang diteliti ditampilkan dalam kelompok-kelompok,  sebagai berikut. (1) Kelompok jenjang pendidikan subjek dibagi menjadi jenjang Perguruan Tinggi (PT) dan Sekolah Menengah (SM). (2) Kelompok jenis strategi pembelajaran yang digunakan dibagi menjadi Strategi Metakognisi (MK) dan Strategi Non-Metakognisi (Non-MK). (3) Kelompok jenis kemampuan berbahasa Inggris yang dipengaruhi dibagi menjadi Pemahaman Teks (PTs), Penguasaan Kosakata (PK), Kemampuan Berbahasa Umum (KBU), dan Kemampuan Menulis (KM).
Distribusi 26 subpenelitian kedalam kelompok-kelompok itu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1: Distribusi Subjek/Subpenelitian Berdasarkan Aspek-Aspek yang Diteliti N = 26

PT
SM
MK
Non-MK
PTs
PK
KBU
KM
TOTAL
1) Jenjang pdd.
15
11






26
2) Strategi


23
3




26
3) Kemampuan




23
1
1
1
26

Setelah dilakukan penghitungan effect size untuk semua subpenelitian (seperti terlihat pada lampiran 2), pertama-tama dihitung interval rerata besar pengaruh, sebagai berikut.

N
26
∑∆
19,91
0,77
ЅΔ
0,76

Interval rerata besar pengaruh  (  α = 0,05) dihitung dengan rumus:
                       
*      ±     

Dalam mana:
N      : jumlah subjek/subpenelitian
∑Δ    : jumlah besar effect size  semua N
*     : Rata-rata effect size semua N
SΔ    : Deviasi standar effect size semua N
Z       : Nilai pada kurva normal untuk α = 0,05

Dengan memasukkan angka-angka di atas kedalam rumus maka,
                       
 0,77     ±  
= 0,77   ±  0,29
= 0,48 --------1,06
Jadi,  interval rerata besar pengaruh berada pada rentangan 0,48 sampai dengan 1,06.

Dari hasil perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa interval rerata besar pengaruh berada pada arah positif, yaitu sebesar 0,48 sampai 1,06.  Hal ini berarti secara keseluruhan, penggunaan strategi pembelajaran berpengaruh positif terhadap kemampuan berbahasa Inggris. Dengan kata lain, penerapan strategi pembelajaran menyebabkan  kemampuan berbahasa Inggris kelompok eksperimen lebih tinggi 0,77 kali deviasi standar kemampuan berbahasa Inggris kelompok kontrol.
Berdasarkan Jenjang Pendidikan Subjek, rerata besar pengaruh strategi pembelajaran adalah sebagai berikut.



PT
SM
N
15
11
∑∆
6,089
13,83
*
0,38
1,26
ЅΔ
0,41
0,89

Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa rerata pengaruh yang besar terjadi pada jenjang Sekolah Menengah (SM), yaitu sebesar 1,26, sedangkan rerata pengaruh pada jenjang Perguruan Tinggi (PT) hanya 0,38. Demikian pula bila dilihat dari konsistensi pengaruh berdasarkan jenjang ini, ternyata pada jenjang sekolah menengah pengaruhnya konsisten karena deviasi standarnya lebih kecil daripada reratanya, yang hampir sebesar satu setengah kali deviasi standarnya. Sebaliknya, pada jenjang perguruan tinggi, deviasi standarnya lebih besar daripada reratanya, yang berarti bahwa tidak terjadi konsistensi pengaruh.
Berdasarkan  Jenis Strategi Pembelajaran yang digunakan, besarnya rata-rata pengaruh dihitung sebagai berikut.


MK
Non-MK
N
23
3
∑∆
18,49
1,43
*
0,80
0,48
ЅΔ
0,79
0,50

Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa penggunaan strategi Metakognisi (MK) memberikan pengaruh  besar (0,80), sedangkan strategi Non-Metakognisi memberikan pengaruh lebih kecil (0,48). Lebih jauh dapat dilihat bahwa strategi metakognisi berpengaruh hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan strategi non-metakognisi.
            Bila dilihat dari deviasi standar masing-masing kelompok, ternyata pengaruh strategi metakognisi bersifat konsisten karena deviasi standarnya lebih kecil daripada rerata pengaruhnya, sedangkan konsistensi tidak terjadi pada strategi non-metakognisi karena deviasi standarnya lebih besar dibandingkan rerata pengaruhnya.
Berdasarkan Jenis Kemampuan Berbahasa Inggris yang dipengaruhi, besarnya rerata pengaruh strategi pembelajaran adalah sebagai berikut.


PTs
PK
KBU
KM
N
23
1
1
1
∑∆
17,70
1,91
0,26
0,06
*
0,77
1,91
0,26
0,06
ЅΔ
0,75
0
0
0

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa  dari empat kelompok kemampuan yang dipengaruhi, tiga di antaranya hanya meliputi satu subpenelitian. Sebagian besar (23 subpenelitian) mengenai pengaruh strategi pembelajaran  terhadap pemahaman teks (PTs). Hasil analisis menunjukkan, rerata pengaruh strategi pembelajaran terhadap kemampuan pemahaman teks adalah 0,77, dengan deviasi standar sebesar 0,75. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh yang cukup besar dan konsisten dari strategi pembelajaran terhadap kemampuan memahami teks. Sementara itu, terjadi pengaruh yang besar pada kemampuan kosakata, yaitu sebesar 1,91.

3.2 Pembahasan
            Secara keseluruhan, ternyata strategi pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Hasil ini sesuai dengan temuan pada studi meta-analisis keefektifan strategi instruksional yang dilakukan oleh Soekamto (1989), bahwa strategi instruksional dapat meningkatkan hasil belajar. Bilamana dilihat dari aspek perbedaan jenjang pendidikan di mana strategi pembelajaran digunakan, temuan penelitian menunjukkan bahwa penerapan strategi pembelajaran ternyata lebih efektif di jenjang sekolah menengah dibandingkan di jenjang perguruan tinggi. Hal ini merupakan hal yang logis sebab, sesuai dengan tingkat kematangannya (utamanya dalam  pengalaman dan usia), seseorang akan menjadi lebih mandiri dalam banyak hal, termasuk dalam belajar bahasa Inggris. Di perguruan tinggi umumnya mahasiswa telah menemukan tujuan belajarnya. Oleh karena itu, motivator eksternal seperti strategi pembelajaran yang digunakan pengajar tampaknya tidak banyak membedakan hasil belajar mereka. Sebaliknya, di tingkat sekolah menengah, strategi pembelajaran memberikan pengaruh yang tinggi terhadap hasil belajar. Pemilihan strategi yang tepat oleh guru dapat memberikan hasil belajar yang baik.
            Sementara itu, dalam aspek pemilihan strategi pembelajaran ternyata strategi metakognisi berpengaruh lebih besar daripada strategi non-metakognisi, yang berarti bahwa strategi metakognisi sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, terutama pada kemampuan kosakata dan membaca pemahaman. Brown dalam Nolan (1991) mengatakan bahwa ada dua faktor yang terlibat dalam metakognisi siswa, yaitu (1) kesadaran pebelajar tentang proses kognitifnya dan (2) pemahaman pebelajar tentang sumber-sumber kognitif dan pemanfaatan cara-cara mengatur diri, seperti merencanakan. Hal ini berarti bahwa  stimulasi terhadap kesiapan belajar (learning readiness) sangat penting dilakukan sebelum pelajaran dimulai, untuk dapat menyentuh mental state siswa, sehingga dia menyadari apa yang akan dipelajari dan siap untuk belajar hal itu. Hasil ini sekaligus pula menunjukkan bahwa orientasi behavioristik saja (yang menekankan pada habit formation melalui repeated exercises) tidak cukup untuk memfasilitasi kemampuan berbahasa seseorang.
            Dalam eksperimen-eksperimen tersebut, berbagai bentuk strategi metakognisi digunakan seperti pre-questioning dan summarizing dalam pembelajaran membaca pemahaman (reading comprehension). Sementara itu, dilihat dari kemampuan berbahasa Inggris yang dipengaruhi, ternyata kemampuan kosakata mengalami pengaruh tertinggi akibat dari penggunaan strategi pembelajaran; disusul oleh kemampuan memahami teks, sedangkan kemampuan bahasa umum dan kemampuan menulis mengalami pengaruh yang kecil saja. Jika dilihat lebih jauh, ternyata kemampuan yang tinggi pada kosakata dan membaca disebabkan oleh penggunaan strategi metakognisi. Hal ini sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa strategi metakognisi efektif dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Namun demikian, tampaknya kita hanya dapat menyimpulkan hal ini kepada kemampuan membaca saja sebab, dalam penelitian ini, hanya ada satu penelitian (subpenelitian) mengenai kosakata, sehingga simpulan yang definitif tidak dapat dilakukan.
4. Penutup
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran terutama strategi metakognisi, efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris terutama di jenjang sekolah menengah.       Berdasarkan hasil meta-analisis ini, perlu disarankan kepada para guru bahasa Inggris untuk lebih mengoptimalkan penggunaan strategi metakognisi dalam pembelajaran. Selanjutnya, mengingat manfaat yang diperoleh melalui penelitian meta-analisis, perlu dilakukan penelitian sejenis untuk bidang-bidang lain dan menggunakan lebih banyak sampel penelitian eksperimental.


DAFTAR  PUSTAKA


Edelsky, C. & Altwelger, B.(1994).Whole Language, What’s the Difference?. N.H: Heinemann
Gardner, R.C. (2001) Language Learning Motivation, the Student, the Teacher, and the Researcher. Available at http://publish.uwo.ca/~gardner/
Glass, G.V., McGaw B. , & Smith, M.L. (1981). Meta-Analysis in Social Research. London: Sage Publications.
Goodman, K. (1986). What’s Whole in Whole Language? N.H : Heinemann
Juliati S. (1993).  ‘Meta-Analisis Hubungan Hasil Belajar terhadap Sikap’. Jurnal Lemlit dan P2M Univ. Darma Persada. Tahun II no. 1 (Sept.) (22-33)
Marhaeni, AAIN. (1999). ‘Rosenblatt’s Transactional Theory and Its Implementation in the Teaching of Integrated Reading’. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 5 Nomor 4 (September) (206-219)
Nolan, T.E. (1991) Self-Questioning and Prediction: Combining Metacognitive Strategies. The Reading Teacher. (pp. 132-138). International Reading Association.
Richards, J.C & Rogers, T.S. (1986). Approaches and Methods in Language Teaching. Cambridge: Cambridge Univ. Press
Rivers, W.M. (1990). Interactive Language Teaching. Cambridge: Cambridge Univ. Press
Rosenblatt, L.M. (1988). Writing and Reading: The Transactional Theory, Technical Report No. 416. Cambridge: Bolt, Beranek, and Newman Inc.